skip to main |
skip to sidebar
Alkisah, di daerah
Sumatra Selatan, tersebutlah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Sriwijaya. Raja tersebut mempunyai seorang putri yang cantik
jelita bernama Siti Fatimah. Selain cantik, ia juga berperangai baik. Sopan-santun
dan tutur bahasanya yang lembut mencerminkan sifat seorang putri raja.
Kecantikan dan keelokan perangainya mengundang decak kagum para pemuda di
Negeri Palembang. Namun, tak seorang pun pemuda yang berani meminangnya, karena
kedua orang tuanya menginginkan ia menikah dengan putra raja yang kaya raya.Pada suatu
hari, datanglah seorang putra raja dari Negeri Cina bernama Tan Bun Ann untuk
berniaga di Negeri Palembang. Putra Raja Cina itu berniat untuk tinggal
beberapa lama di negeri itu, karena ia ingin mengembangkan usahanya. Sebagai
seorang pendatang, Tan Bun Ann datang menghadap kepada Raja Sriwijaya untuk
memberitahukan maksud kedatangannya ke negeri itu.
“Ampun,
Baginda! Nama hamba Tan Bun Ann, putra raja dari Negeri Cina. Jika
diperkenankan, hamba bermaksud tinggal di negeri ini dalam waktu beberapa lama
untuk berniaga,” kata Tan Bun Ann sambil memberi hormat.“Baiklah, Anak
Muda! Aku perkenankan kamu tinggal di negeri ini, tapi dengan syarat kamu harus
menyerahkan sebagian untung yang kamu peroleh kepada kerajaan,” pinta Raja
Sriwijaya.Tan Bun Ann pun
menyanggupi permintaan Raja Sriwijaya. Sejak itu, setiap minggu ia pergi ke
istana untuk menyerahkan sebagian keuntungan dagangannya. Suatu ketika, ia
bertemu dengan Siti Fatimah di istana. Sejak pertama kali melihat wajah Siti
Fatimah, Tan Bun Ann langsung jatuh hati. Demikian sebaliknya, Siti Fatimah pun
menaruh hati kepadanya. Akhirnya, mereka pun menjalin hubungan kasih. Karena
merasa cocok dengan Siti Fatimah, Tan Bun Ann pun berniat untuk menikahinya.Pada suatu
hari, Tan Bun Ann pergi menghadap Raja Sriwijaya untuk melamar Siti Fatimah.
“Ampun,
Baginda! Hamba datang menghadap kepada Baginda untuk meminta restu. Jika
diperkenankan, hamba ingin menikahi putri Baginda, Siti Fatimah,” ungkap Tan
Bun Ann.
Raja Sriwijaya
terdiam sejenak. Ia berpikir bahwa Tan Bun Ann adalah seorang putra Raja Cina
yang kaya raya.“Baiklah, Tan
Bun! Aku merestuimu menikah dengan putriku dengan satu syarat,” kata Raja
Sriwijaya.“Apakah syarat
itu, Baginda?” tanya Tan Bun Ann penasaran.“Kamu harus
menyediakan sembilan guci berisi emas,” jawab Raja Sriwijaya.Tanpa berpikir
panjang, Tan Bun Ann pun bersedia memenuhi syarat itu.“Baiklah,
Baginda! Hamba akan memenuhi syarat itu,” kata Tan Bun Ann.Tan Bun Ann pun
segera mengirim utusan ke Negeri Cina untuk menyampaikan surat kepada kedua
orang tuanya. Selang beberapa waktu, utusan itu kembali membawa surat balasan
kepada Tan Bun Ann. Surat balasan dari kedua orang tuanya itu berisi restu atas
pernikahan mereka dan sekaligus permintaan maaf, karena tidak bisa menghadiri
pesta pernikahan mereka. Namun, sebagai tanda kasih sayang kepadanya, kedua
orang tuanya mengirim sembilan guci berisi emas. Demi keamanan dan keselamatan
guci-guci yang berisi emas tersebut dari bajak laut, mereka melapisinya dengan
sayur sawi tanpa sepengetahuan Tan Bun Ann.
Saat mengetahui
rombongan utusannya telah kembali, Tan Bun Ann dan Siti Fatimah bersama
keluarganya serta seorang dayang setianya segera berangkat ke dermaga di Muara
Sungai Musi untuk memeriksa isi kesembilan guci tersebut. Setibanya di dermaga,
Tan Bun Ann segera memerintahkan kepada utusannya untuk menunjukkan guci-guci
tersebut.“Mana guci-guci
yang berisi emas itu?” tanya Tan Bun Ann kepada salah seorang utusannya.“Kami menyimpannya
di dalam kamar kapal, Tuan!” jawab utusan itu seraya menuju ke kamar kapal
tempat guci-guci tersebut disimpan.Setelah utusan
itu mengeluarkan kesembilan guci tersebut dari kamar kapal, Tan Bun Ann segera
memeriksa isinya satu persatu. Betapa terkejutnya ia setelah melihat guci itu
hanya berisi sayur sawi yang sudah membusuk.
“Oh, betapa
malunya aku pada calon mertuaku. Tentu mereka akan merasa diremehkan dengan
barang busuk dan berbau ini,” kata Tan Bun Ann dalam hati dengan perasaan
kecewa seraya membuang guci itu ke Sungai Musi.Dengan penuh
harapan, Tan Bun Ann segera membuka guci yang lainnya. Namun, harapan hanya
tinggal harapan. Setelah membuka guci-guci tersebut ternyata semuanya berisi
sayur sawi yang sudah membusuk. Bertambah kecewalah hati putra Raja Cina itu.
Dengan perasaan kesal, ia segera melemparkan guci-guci tersebut ke Sungai Musi
satu persatu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Ketika ia hendak melemparkan
guci yang terakhir ke sungai, tiba-tiba kakinya tersandung sehingga guci itu jatuh
ke lantai kapal dan pecah. Betapa terkejutnya ia saat melihat emas-emas
batangan terhambur keluar dari guci itu. Rupanya di bawah sawi-sawi yang telah
membusuk tersebut tersimpan emas batangan. Ia bersama seorang pengawal setianya
segera mencebur ke Sungai Musi hendak mengambil guci-guci yang berisi emas
tersebut.
Melihat hal
itu, Siti Fatimah segera berlari ke pinggir kapal hendak melihat keadaan calon
suaminya. Dengan perasaan cemas, ia menunggu calon suaminya itu muncul di
permukaan air sungai. Karena orang yang sangat dicintainya itu tidak juga
muncul, akhirnya Siti Fatimah bersama dayangnya yang setia ikut mencebur ke
sungai untuk mencari pangeran dari Negeri Cina itu. Sebelum mencebur ke sungai,
ia berpesan kepada orang yang ada di atas kapal itu.“Jika ada
tumpukan tanah di tepian sungai ini, berarti itu kuburan saya,” demikian pesan
Siti Fatimah.Beberapa
hari setelah peristiwa tersebut, muncullah tumpukan tanah di tepi Sungai Musi.
Lama kelamaan tumpukan itu menjadi sebuah pulau. Masyarakat setempat
menyebutnya Pulo Kemaro. Pulo Kemaro dalam bahasa Indonesia berarti
Pulau Kemarau. Dinamakan demikian, karena pulau tersebut tidak pernah digenangi
air walaupun volume air di Sungai Musi sedang meningkat.
0 komentar:
Posting Komentar